Latar belakang 95_Dalil

Templat:Lutheranism

Martin Luther, seorang profesor teologi moral di Universit Wittenberg dan pengkhotbah kota,[3] menulis 95 Tesis menentang praktik kontemporer gereja terkait indulgensi. Dalam Gereja Katolik, satu-satunya gereja Kristian di Eropa Barat pada masa itu, indulgensi merupakan bagian dari karya keselamatan. Dalam sistem tersebut, ketika umat Kristian berdosa dan mengakukannya, dosa-dosanya diampuni dan tidak akan lagi menerima hukuman abadi dalam neraka, tetapi, mungkin masih menanggung beban hukuman temporal.[4] Peniten dapat membebaskan diri dari hukuman tersebut dengan cara melakukan karya belas kasih.[5] Jika hukuman temporal tidak terpenuhi sepenuhnya semasa hidupnya di dunia ini, maka perlu dipenuhi dalam api penyucian. Dengan indulgensi (yang dapat diterjemahkan sebagai "kemurahan hati"), hukuman temporal tersebut dapat dikurangi atau bahkan dihapuskan.[4] Dalam penyalahgunaan sistem indulgensi, kaum rohaniwan memanfaatkannya dengan menjual indulgensi dan paus memberikan pernyataan resmi dengan imbalan biaya tertentu.[6]

Ukiran kayu menggambarkan seorang penjual indulgensi di sebuah gereja dari sebuah pamflet 1521.

Para paus memiliki kuasa untuk menganugerahkan indulgensi penuh, yang memberikan pembebasan sepenuhnya atas segala hukuman temporal yang masih tersisa akibat dosa, dan indulgensi juga dapat dibeli bagi orang-orang yang diyakini berada dalam api penyucian. Hal ini menyebabkan timbulnya ungkapan populer: "Begitu sekeping koin dalam peti uang berdenting, jiwa dari api penyucian melompat". Para teolog di Universitas Paris pernah mengecam ungkapan tersebut pada akhir abad kelima belas.[7] Para kritikus indulgensi sebelumnya misalnya John Wycliffe, yang menyangkal bahawa paus memiliki yurisdiksi atas api penyucian. Jan Hus dan para pengikutnya pernah mengadvokasikan suatu sistem penitensi atau silih yang lebih berat, yang di dalamnya tidak tersedia indulgensi.[8] Johannes von Wesel juga pernah menyerang indulgensi pada akhir abad kelima belas.[9] Para penguasa politik berkepentingan dalam mengendalikan indulgensi kerana ekonomi lokal bergejolak saat uang untuk indulgensi pergi dari wilayah mereka masing-masing. Para penguasa sering kali berusaha mendapatkan bagian dari hasilnya atau melarang indulgensi sama sekali, seperti yang dilakukan Adipati Georgius di Elektorat Sachsen tempat Luther tinggal.[10]

Pada 1515, Paus Leo X menganugerahkan suatu indulgensi penuh yang dimaksudkan untuk membiayai pembangunan Basilika Santo Petrus di Roma.[11] Indulgensi tersebut berlaku untuk hampir semua dosa, termasuk perzinaan dan pencurian. Semua khotbah indulgensi lainnya dihentikan selama delapan tahun saat indulgensi tersebut ditawarkan. Para pengkhotbah indulgensi diberikan pengarahan ketat tentang bagaimana indulgensi tersebut harus dikhotbahkan, dan mereka lebih banyak menerima pujian kerana indulgensi tersebut dibandingkan dengan indulgensi-indulgensi yang ditawarkan sebelumnya.[12] Johann Tetzel ditugaskan untuk berkhutbah dan menawarkan indulgensi tersebut pada 1517, dan kampanyenya di kota-kota dekat Wittenberg menarik minat banyak penduduk Wittenberg untuk mengunjungi kota-kota itu dan membelinya, kerana penjualannya telah dilarang di Wittenberg dan kota-kota Sachsen (Saxon) lainnya.[13]

Luther juga pernah menerima indulgensi-indulgensi yang dikaitkan dengan Gereja Semua Orang Kudus di Wittenberg.[14] Dengan menghormati sejumlah besar relikui di gereja itu, seseorang dapat menerima suatu indulgensi.[15] Pada awal 1514, dia berkhutbah menentang penyalahgunaan indulgensi dan cara mereka merendahkan anugerah atau kasih karunia alih-alih mengharuskan pertobatan sejati.[16] Pada 1517, Luther menjadi sangat prihatin saat jemaat parokinya, sekembalinya mereka dari membeli indulgensi Tetzel, mengklaim bahawa mereka tidak lagi perlu bertaubat dan mengubah hidup mereka agar dapat diampuni dosanya. Setelah mendengar apa yang dikatakan Tetzel mengenai indulgensi dalam khotbah-khotbahnya, Luther mulai mempelajari isu tersebut dengan lebih seksama, dan menghubungi para ahli terkait subjek tersebut. Beliau berkhutbah tentang indulgensi beberapa kali pada 1517, menjelaskan bahawa pertaubatan yang sebenarnya lebih baik ketimbang membeli suatu indulgensi.[17] Beliau mengajarkan kalau menerima suatu indulgensi mensyaratkan bahawa peniten telah mengakukan dosa-dosanya dan bertaubat, kerana jika tidak demikian maka indulgensi tidak berguna. Menurutnya, pendosa yang benar-benar bertaubat juga tidak akan mencari suatu indulgensi, kerana mereka mencintai kebenaran dari Tuhan dan menginginkan hukuman batin atas dosa-dosa mereka.[18] Khotbah-khotbahnya tampaknya dihentikan sejak April sampai Oktober 1517, diperkirakan saat itu Luther sedang menulis 95 Tesis.[19] Beliau menyusun sebuah Risalah tentang Indulgensi, sepertinya pada awal musim gugur 1517. Dikatakan bahawa tulisannya itu merupakan suatu penelitian menyeluruh dan cermat terkait subjek tersebut.[20] Beliau menghubungi para pemimpin gereja untuk membahas subjek tersebut melalui surat, termasuk superiornya Hieronymus Schulz [de], Uskup Brandenburg, sekitar atau sebelum 31 Oktober, saat dia mengirim tesis-tesisnya kepada Uskup Agung Albertus dari Brandenburg.[21]